Anak-anak begitu cepat belajar. Bagai mengukir
di atas batu. Dua tiga kali latihan hadrah komposisi pukulan tangan pada rebana terdengar
harmonis. Saya mendengarkan
dari kamar saya yang kebetulan bersebelahan dengan
masjid.
Jadi ingat kami ibu-ibu yang bergabung dalam
organisasi istri pegawai, setahun lalu latihan dua kali selama sebulan tidak
jadi-jadi karena begitu sulitnya mengumpulkan orang dan penabuh inti sering
berganti. Belajar semasa dewasa bagai mengukir di atas air. Sulit, tapi bukan
berarti tidak bisa. Yang diperlukan adalah ketekunan, kedisiplinan dan
mau terus belajar dan mencoba.
Demikian juga dalam dunia tulis menulis. Menulis
adalah dunia lama saya sejak usia 8-9 tahun. Saya masih ingat walau tidak
terdokumentasikan, puisi saya berjudul "Sapu Tangan Dari Netherland"
dan cerpen pertama saya "Sepedaku" mendapat pujian ibu guru pada saat
pelajaran bahasa Indonesia. Sebelumnya dalam perjalanan pelajaran mengarang,
saya masih memakai kata-kata asing seperti Oom, Tante, Mama dan Papa untuk menyebut
paman, bibi, ibu dan ayah, karena itulah panggilan saya pada beliau. Rupanya
hal ini dikritik oleh ibu guru, dan membuat saya belajar dari situ hingga
membuat saya mengarang dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Hingga menghasilkan karangan berjudul ”Sepedaku” tadi pada pelajaran bahasa
Indonesia.
Tapi sejauh itu saya belum pernah mengirimkannya
pada media.
Bertahun-tahun puisi-puisi saya banyak menghiasi
buku kenangan teman-teman. Puisi...menulis dan membacanya adalah dunia lama saya.
Mulai berani mengirimkan puisi-puisi saya ketika kelas 6 SD, ketika membaca
majalah Sahabat Pena. Saya orangnya serba ingin tahu dan belajar hal-hal yang
baru, bertemu pengasuh rubrik sastra pada majalah tersebut di Museum Pos dan
Giro Bandung. Padanya saya mengatakan saya senang menulis puisi, yang diminta
oleh beliau mengirimkan di majalah yang diasuhnya.
Empat puisi tulisan tangan saya serahkan pada
beliau. Dan saya melupakannya. Hingga suatu saat, saya masih ingat ada 4 lembar
surat dari orang-orang yang tidak saya kenal tergeletak di meja ruang tamu.
Ketika saya membaca surat-surat itu, dari situ saya tahu 4 puisi pertama yang
saya kirim ke media dimuat semua. Terkejut, senang dan bingung.
Keesokan harinya ada beberapa surat lagi.
Kebingungan saya, karena surat-surat itu mengharap balasan dan foto. Sementara
uang saku pada saat itu tidak cukup untuk membeli perangko. Sampai SMA yang
sekarang berganti nama menjadi SMU, saya menulis puisi dan selalu mengirimkan
pada majalah Sahabat Pena dan sering dimuat. Hingga terhenti cukup lama...10
tahun saya tidak pernah mengirimkan pada media.
Puisi dengan semua kesederhanaan kata dan gaya bahasanya
adalah dunia saya. Saya terus menulis hanya dengan tulisan tangan. Hingga
kemudahan teknologi muncul, saya mencoba mengirim 2 resep masakan tahun 2003
pada alamat email direct selling yang bisnisnya menjadi selingan saya dalam
aktifitas sebagai ibu rumah tangga. Saya waktu itu ikut mengetik dari kantor
suami dan mnemaninya kerja lembur.
Dua resep masakan yang saya kirimkan walaupun
tidak mendapat hadiah uang, saya mendapat hadiah 2 produk yang tidak dijual
dalam katalog, yang untuk ukuran saya waktu itu termasuk sangat mahal. Senang
tentu saja.
MENULIS DAN MENULIS SERTA FENOMENA FACE BOOK
Ternyata
kecanggihan teknologi ini yang walaupun saya termasuk terlambat mengenalnya,
saya dapat bertemu sahabat-sahabat lama saya, semasa sekolah dasar sampai
kuliah. Kewajiban sebagai ibu rumah tangga mengharuskan saya mengikuti suami,
membuat saya terpisah dengan masa lalu saya (teman dan saudara) di kota kembang. Yang membuat
terharu saya bertemu seorang sahabat SD (Ratih Melia) dan sahabat SMP-SMA (Vera
Ovelina Nd) yang meminta saya menuliskan kisah saya hingga terdampar di kota angin ini (ceileeee...terdampar
begitu katanya). Dan Vera masih ingat sekali kalau saya suka
menulis. Miss you so much Ver. Juga bertemu kembali dengan dua sahabat
pena yang saya kenal sejak 1987 dan 1988, Kak Herna Suherna (Sukabumi-Jawa
Barat), Kak Lita Nanda (Sumatera Selatan), Mas Hary Agiyanto (Blitar-jawa
Timur), dan Kak Nur Laily (Sigli-Aceh). Mereka meminta pertemanan dengan saya
karena dalam akun saya itu saya menggunakan nama asli saya yang mereka kenal.
Masih banyak kenangan indah yang terekam dalam
memori yang ingin saya tuliskan lagi. Sementara semangat menulis saya saat ini
begitu menggebu dan hanya bisa menulis sambil berbaring, tulisan ini kembali
seperti dulu. Bila saat ide datang begitu tiba-tiba 3-2 tahun lalu hanya bisa
mengetik bersambung terbatas 160 karakter, sekarang bisa agak lebih panjang
dengan 520 karakter (walau masih terus bersambung di komentar). Tak ada alasan
untuk tidak menulis. Motivasi itu yang selalu menguatkan saya untuk terus
menulis. Walaupun ada yang tidak suka karena tulisan ini terlalu panjang di
face book, setidaknya bisa berbagi dan dipetik hikmahnya bila bermanfaat.
Catatan: Tulisan ini hasil
suntingan dari status saya di face book pada, Minggu 13 Januari 2013.