Kamis, 31 Januari 2013

SELARIK KISAH

Ingin selalu mencoba dan belajar sesuatu yang baru.
Tapi tetap harus fokus dengan yang benar-benar diminati.
Mulai berfikir apa yang harus ditinggalkan dengan
menjalani yang sudah terlihat menghasilkan.

Koq berat ya meninggalkannya.
Karena sudah menekuni bertahun-tahun dan mencintainya.
Dari situ mengenal banyak karakter orang, punya kenalan
dan sahabat baru.
Merasakan bagaimana dibutuhkan, dirindukan kehadiran karena
lama tidak muncul.
Sampai merasakan ditelikung orang yang pernah merayu untuk dibantu.

Menikmati segala romantikanya.
Bukan nilai dari harga yang bisa ditukar dengan sesuatu.
Namun kisah di balik semua itu, bagaimana memulai, bagaimana indahnya
diberi kepercayaan, bagaimana indahnya menjalin persaudaraan.
Aaaah...semuanya indah.

Tak terasa semua dijalani dengan suka, cinta diiringi sepihan-serpihan duka
yang menjadi indahnya suatu cerita.

Selasa, 15 Januari 2013

TERUSLAH MENULIS


 Anak-anak begitu cepat belajar. Bagai mengukir di atas batu. Dua tiga kali latihan hadrah komposisi pukulan tangan pada rebana terdengar harmonis. Saya mendengarkan
dari kamar saya yang kebetulan bersebelahan dengan masjid.
Jadi ingat kami ibu-ibu yang bergabung dalam organisasi istri pegawai, setahun lalu latihan dua kali selama sebulan tidak jadi-jadi karena begitu sulitnya mengumpulkan orang dan penabuh inti sering berganti. Belajar semasa dewasa bagai mengukir di atas air. Sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Yang diperlukan adalah ketekunan, kedisiplinan dan mau terus belajar dan mencoba.
Demikian juga dalam dunia tulis menulis. Menulis adalah dunia lama saya sejak usia 8-9 tahun. Saya masih ingat walau tidak terdokumentasikan, puisi saya berjudul "Sapu Tangan Dari Netherland" dan cerpen pertama saya "Sepedaku" mendapat pujian ibu guru pada saat pelajaran bahasa Indonesia. Sebelumnya dalam perjalanan pelajaran mengarang, saya masih memakai kata-kata asing seperti Oom, Tante, Mama dan Papa untuk menyebut paman, bibi, ibu dan ayah, karena itulah panggilan saya pada beliau. Rupanya hal ini dikritik oleh ibu guru, dan membuat saya belajar dari situ hingga membuat saya mengarang dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hingga menghasilkan karangan berjudul ”Sepedaku” tadi pada pelajaran bahasa Indonesia.
Tapi sejauh itu saya belum pernah mengirimkannya pada media.
Bertahun-tahun puisi-puisi saya banyak menghiasi buku kenangan teman-teman. Puisi...menulis dan membacanya adalah dunia lama saya. Mulai berani mengirimkan puisi-puisi saya ketika kelas 6 SD, ketika membaca majalah Sahabat Pena. Saya orangnya serba ingin tahu dan belajar hal-hal yang baru, bertemu pengasuh rubrik sastra pada majalah tersebut di Museum Pos dan Giro Bandung. Padanya saya mengatakan saya senang menulis puisi, yang diminta oleh beliau mengirimkan di majalah yang diasuhnya.
Empat puisi tulisan tangan saya serahkan pada beliau. Dan saya melupakannya. Hingga suatu saat, saya masih ingat ada 4 lembar surat dari orang-orang yang tidak saya kenal tergeletak di meja ruang tamu. Ketika saya membaca surat-surat itu, dari situ saya tahu 4 puisi pertama yang saya kirim ke media dimuat semua. Terkejut, senang dan bingung.
Keesokan harinya ada beberapa surat lagi. Kebingungan saya, karena surat-surat itu mengharap balasan dan foto. Sementara uang saku pada saat itu tidak cukup untuk membeli perangko. Sampai SMA yang sekarang berganti nama menjadi SMU, saya menulis puisi dan selalu mengirimkan pada majalah Sahabat Pena dan sering dimuat. Hingga terhenti cukup lama...10 tahun saya tidak pernah mengirimkan pada media.
Puisi dengan semua kesederhanaan kata dan gaya bahasanya adalah dunia saya. Saya terus menulis hanya dengan tulisan tangan. Hingga kemudahan teknologi muncul, saya mencoba mengirim 2 resep masakan tahun 2003 pada alamat email direct selling yang bisnisnya menjadi selingan saya dalam aktifitas sebagai ibu rumah tangga. Saya waktu itu ikut mengetik dari kantor suami dan mnemaninya kerja lembur.
Dua resep masakan yang saya kirimkan walaupun tidak mendapat hadiah uang, saya mendapat hadiah 2 produk yang tidak dijual dalam katalog, yang untuk ukuran saya waktu itu termasuk sangat mahal. Senang tentu saja.

MENULIS DAN MENULIS SERTA FENOMENA FACE BOOK
Ternyata kecanggihan teknologi ini yang walaupun saya termasuk terlambat mengenalnya, saya dapat bertemu sahabat-sahabat lama saya, semasa sekolah dasar sampai kuliah. Kewajiban sebagai ibu rumah tangga mengharuskan saya mengikuti suami, membuat saya terpisah dengan masa lalu saya (teman dan saudara) di kota kembang. Yang membuat terharu saya bertemu seorang sahabat SD (Ratih Melia) dan sahabat SMP-SMA (Vera Ovelina Nd) yang meminta saya menuliskan kisah saya hingga terdampar di kota angin ini (ceileeee...terdampar begitu katanya). Dan Vera masih ingat sekali kalau saya suka menulis. Miss you so much Ver. Juga bertemu kembali dengan dua sahabat pena yang saya kenal sejak 1987 dan 1988, Kak Herna Suherna (Sukabumi-Jawa Barat), Kak Lita Nanda (Sumatera Selatan), Mas Hary Agiyanto (Blitar-jawa Timur), dan Kak Nur Laily (Sigli-Aceh). Mereka meminta pertemanan dengan saya karena dalam akun saya itu saya menggunakan nama asli saya yang mereka kenal.
Masih banyak kenangan indah yang terekam dalam memori yang ingin saya tuliskan lagi. Sementara semangat menulis saya saat ini begitu menggebu dan hanya bisa menulis sambil berbaring, tulisan ini kembali seperti dulu. Bila saat ide datang begitu tiba-tiba 3-2 tahun lalu hanya bisa mengetik bersambung terbatas 160 karakter, sekarang bisa agak lebih panjang dengan 520 karakter (walau masih terus bersambung di komentar). Tak ada alasan untuk tidak menulis. Motivasi itu yang selalu menguatkan saya untuk terus menulis. Walaupun ada yang tidak suka karena tulisan ini terlalu panjang di face book, setidaknya bisa berbagi dan dipetik hikmahnya bila bermanfaat.
Catatan: Tulisan ini hasil suntingan dari status saya di face book pada, Minggu 13 Januari 2013.

Selasa, 08 Januari 2013

DEAD LINE


Sudah 15 menit Rahma duduk di depan layar monitor. Tapi belum satu pun kata yang diketiknya. Sementara dead line lomba kepenulisan tinggal beberapa hari lagi. Lima ratus ribu...cukup banyak bagi Rahma. Aku harus memenangi lomba itu, aku ingin eksis kembali menulis. Tapi dari tadi mengapa tak satu kata pun yang bisa dirangkainya menjadi kalimat. Sudah lebih dari 10 tahun Rahma tak menekuni hobinya: menulis. Sementara hadiah lomba kepenulisan itu begitu menggodanya.
Bayangkan tema kepenulisan itu tentang mengupas memori indahnya cinta masa SMP dan SMA. Sementara dia tak pernah merasakan hal itu. Apa aku harus menuliskan apa yang tidak dialaminya. Pikiran itu terus berkecamuk dalam hatinya. Lama-lama dia jutek dan BT juga. Akhirnya diketik kata demi kata yang ingin dia sampaikan.
Akhirnya lewat tengah malam jadilah 5 halaman kata-kata yang dirangkainya menjadi beberapa paragraf. Huuuuft...ada lagi satu yang kurang, karangan ini harus dikirimkan melalui blog pribadi. Aku tidak punya, batinnya. Sementara matanya sudah tak kuat menahan kantuk. Hadiah lima ratus ribu rupiah itu masih terus menari di pelupuk matanya.
***
Aku tersenyum geli ketika membaca tulisan lama yang bertanggal 31 Mei 2011, yang aku tulis di catatan jejaring sosial pertamaku yang ditulis dari telepon genggam. Masih teringat ketika mengetik tulisan itu dengan terbatas 160 karakter, tak mengurangi semangat menuliskan ide yang ada di kepala. Keburu lari itu, batinku. Maka kugerakkan tarian jemariku di atas tombol-tombol telepon genggamku. Duuuuh...bagaimana ini tulisanku belum selesai. Tak hilang akal aku meneruskannya di komentar. Aaaah leganya, selesai juga. Ada beberapa sahabat yang menitipkan jempol manisnya di tulisanku itu. 
Aku terjaga di sepertiga malam seperti biasa. Masya Allah...tangan kananku ternyata masih menggenggam telepon genggam kesayanganku dalam kondisi masih tersambung on line. Begitu menggebunya keinginan untuk mengikuti lomba menulis saat itu sampai terbawa tidur.
***
Deadline itu semakin dekat sementara beberapa persyaratan lain belum dapat aku penuhi. 
"Kan nggak harus ikut lomba itu Neng, kamu bisa menulis yang ringan-ringan dulu sambil latihan." di tengah lelah orang tersayangku masih mau mendengar rajukanku.
Aku jadi teringat niat awalku menulis, menebar manfaat dan kebaikan melalui kesederhanaan tulisan-tulisanku. Adapun kemudahan berupa hadiah dan penghargaan itu akan mengiringi seiring semakin meningkatnya orang-orang membaca kualitas dari tulisanku..
Dan...jemarikku kembali menari, menarikan indahnya puisi dan menyanyikan suara hati.



Yang Pertama: Ketika Jemariku Kembali Menari

Alhamdulillah, akhirnya blog-ku selesai juga. terima kasih Sayangku (Eko Cahyono), sudah membimbingku dan kita belajar sama-sama membuat blog. *_*

Ketika Jemariku Kembali Menari



Ketika jemariku kembali menari,
biarlah dia menarikan tentang hujan.
Yang rintiknya menyejukkan bumi yang gersang.
Atau meluruhkan amarah, rindu dan dendam.

Ketika jemariku kembali menari.
Biarlah jemari lentikku menarikan tentang nurani.
yang kelembutannya sampai ke dasar hati.

Ketika jemariku kembali menari,
biarlah gemulainya menarikan rindu.
Yang kan hilang seiring berlalunya waktu.
Ataupun terus melekat bila tlah bertemu.

Ketika jemariku kembali menari.
Biarlah dia terus menuliskan indahnya puisi.
Menuliskan betapa agungnya Cinta ILLAHI.

Dan...kan kubiarkan jemariku kembali menari.
Menggerakkan harmoni, bernyanyi
dan menarikan suara hati.

Devy Nadya Aulina
Kota Angin
Minggu, 15 April 2012.