Kamis, 31 Juli 2014

Sesuatu Yang Kau Lupa

Sayang.., aku tak pernah melupakan hari-hari penting. Termasuk hari-hari penting kita.

Kemarin pagi, bahkan beberapa hari sebelumnya. Aku selalu ingat.
Saat aku dekati dirimu pagi itu, aku mengucapkan:
"Selamat ulang tahun, Mas. Aku sayang kamu. Maaf, aku enggak bisa kasih apa-apa."
Aku mencium punggung tanganmu, memelukmu dan mencium kedua pipimu.

Terkejut, seperti biasa itu reaksimu.
"Neng.., sungguh saya enggak ingat."

"He he he.., jangankan ulang tahunmu. Ulang tahun saya, tanggal Mas melamar saya, tanggal pernikahan kita pun Mas enggak pernah ingat. Iya kan?"

Hanya tanggal lahir anak-anak kita, itu yang kau ingat. Itu pun karena harus sering mengisi formulir untuk diisi.
Hemm, kalau ulang tahunku sampai lupa lagi...

Sejak menikah denganmu empat belas tahun lalu. Tak pernah ada hari spesialku, kamu bahkan anak-anak kita yang dirayakan. Keluargamu tak pernah merayakannya. Begitu alasan yang selalu kamu katakan.

Berbeda dengan masa kecil hingga menjelang aku menikah. Walau tidak setiap tahun dirayakan. Mama dan Papa pasti membelikan satu loyang kue tart. Lengkap dengan lilin di atasnya. Mama selalu yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun. Hampir selalu ada acara makan bersama di rumah. Kalau enggak, pasti ada acara makan malam di luar.

Sering aku merindukan perhatian hari spesial seperti dulu.
Beberapa tahun ini hari lahirmu, hari lahir anak bungsu kita dan hari lahirku, jatuh di bulan Ramadhan. Baru tahun ini jatuh di bulan Syawal. Terasa sangat spesial. Minimal, masih ada kue-kue lebaran.

Sayang.., di usiamu yang ke-47. Menjelang usiaku yang kepala empat lebih satu. Juga memasuki pernikahan kita yang keempat belas. Tak ada yang lebih istimewa dari kebersamaan kita. Suka-duka, berbagai peristiwa akan semakin mendewasakan. Saling menggenggam erat, lebih menautkan hati dan doa.

Selamat ulang tahun Sayangku.., Cintaku. Tetaplah menjadi suami dan ayah yang salih. Penuh kasih sayang, sabar dan sederhana.
Semoga berkah usiamu dalam kesehatan dan bshagia. Selalu dalam kasih sayang Allah SWT. Aamiin yaa Allah yaa Rabbal 'alamiin.

Bandung.
Sehari setelah usiamu yang ke-47.
Di penghujung Juli 2014.

Sabtu, 26 Juli 2014

Ketika Profesi Ibu Rumah Tangga Menjadi Pilihan (2)

Banyak yang bertanya, khususnya sahabat-sahabat dan kerabat di Bandung. Mengapa saya mau pindah dari kota besar ke kota kecil. Dari kota yang sarat kreatifitas ke kota yang sedang ingin menggeliat.

Saya akui  di kota di mana saya dilahirkan dan dibesarkan, banyak kemudahan dan jaringan yang memudahkan langkah saya. Namun saya lebih memilih berbakti pada suami. Saya harus melayani keperluan suami dan anak-anak, dengan tangan saya sendiri.

Tidak bisa saya bayangkan bila saya mementingkan diri saya sendiri. Saya mengembangkan potensi diri dengan meninggalkan tanggung jawab. Saya di Bandung dan keluarga saya di Nganjuk. Walaupun suami mengizinkan, saya tidak tega pada anak-anak.

Walaupun berjalan dalam kesederhanaan tanpa berlari. Tidak terenggah bukan berarti pasrah. Suami mengajarkan untuk urusan dunia kami harus melihat ke bawah. Agar hidup penuh rasa syukur dan merasa cukup dengan segala karunia-Nya.

Saya teringat sebuah nasihat bijak. Bila dunia menjadi tujuan, kehidupan ibarat meminum air laut. Asin, bukan hilang rasa dahaga. Semakin haus yang dirasa.

Bukan kami tak ingin kaya. Tapi kaya hati akan terasa lebih sejuk daripada kaya harta. Menggali hikmah dari samudera kehidupan. Agar hidup yang sekali terasa lebih bermakna.