Yaa Allah... kurikulum 2013 yang begitu berat, membuat putri sulungku menangis.
"Koq angel men to Yah..."
Pelajaran kimia sudah diberikan untuk kelas VII. Dulu diberikan saat saya duduk di bangku kelas 1 SMA.
Herannya nilai UTS-nya bagus semua. Anak-anak kami tidak ada yang les. untuk matematika dan IPA, ayahnya yang membimbing. Untuk pelajaran bahasa Indonesia, IPS dan agama bagian Bunda.
Jangankan untuk pelajaran tingkat SMP, untuk anak SD pun termasuk berat. Kalau orang tua tidak turut mendampingi anak belajar, saya tidak tahu jadinya seperti apa.
Jauh berbeda dengan kurikulum zaman saya SD, tahun 1980-1986, kurikulum disesuaikan dengan penalaran anak dan usia. Tidak heran, saya dan banyak teman-teman seusia bisa belajar sendiri dengan hasil yang baik. Waktu untuk bermain pun masih banyak.
Lain lagi pengalaman dari Utami Panca Dewi, penulis dan seorang guru SMP. Berikut ulasannya ketika saya membahasnya di status FB, Senin malam, 20 Oktober 2014.
"Aku mengajar kelas 7 Mbak, dan waktu mengajarkan kimia (asam, basa, garam), anak-anak tak ajak bermain-main dengan bahan-bahan yang ada di dapur Mama. Justru mereka sangat antusias, baik yang percobaan dengan lakmus maupun yang dengan indikator buatan sendiri, Intinya dari K-13 itu sebetulnya biar anak menemukan konsep sendiri kok Mbak. Jadi guru hanya menggiring siswa untuk mengamati lingkungan, menemukan permasalahan, mengumpulkan data untuk memecahkan permasalahan, mengolah data, menyimpulkan sendiri, dan mengomunikasikan dengan teman satu kelas dalam suatu diskusi. Tugas guru hanya menguatkan kesimpulan mereka. Namun tugas guru saat penilaian juga berat, karena setiap anak tidak hanya dinilai kognitifnya, tapi juga attitud (sikap) dan psikomotornya (ketrampilannya)."
Mbak Ade Mumun Maemunah yang akrab disapa Adhe Mae, menimpali Mbak Utami,
"Semua kembali pada cara guru menyampaikannya, kalo seperti yang dilakukan mba Utami Panca Dewi, saya rasa tidak akan membebani anak2, seperti saya di PAUD pelajaran kimia/sains dikemas dalam permainan dan tidak perlu dijelaskan secara detil, dengan bahasa dan kemampuan bahasa anak2 saja, disesuaikan dengan usia anak."
Sementara penulis senior Nurhayati Pujiastuti yang rajin membimbing kedua anaknya belajar, belum merasakannya. Putra sulungnya sejauh ini belum mengeluh soal pelajaran itu. Menurut Nur, mungkin faktor guru yang menyampaikannya.
Yang membuat berat, guru yang mengajar belum siap semua. Alhamdulillah, suami dulu selalu juara kelas sejak SD hingga kuliah. Untuk matematika dan statistika menjadi andalan di kantornya. Juga pernah mengajar matematika. Jadi anak-anak dibimbing ayahnya. Intan, putri sulung saya pernah mengatakan, 'Bunda dan Ayah lebih pintar dari gurunya'. He he...
Saya sering diskusi dengan guru Reza waktu kelas satu, tahun ajaran yang lalu. Guru-guru hanya mengikuti sistem yang berlaku. Entahlah, pemerintahan yang baru sudah terbentuk. Apakah sistem pendidikan dan kurikulum akan berubah lagi? Menurut Aliyah Naura, dari wacana hasil rapat, kurikulum 2013 akan segera digantikan dengan kurikulum 2014.
Malah diskusi kami semalam semakin hangat. Kami beernostalgia bagaimana asyiknya kurikulum ketika kami SD dan SMP dulu. Buku-buku pelajaran masih bisa dipakai adik-adik, bahkan famili yang lain. Waktu bermain setelah pulang sekolah dan sore hari pun masih banyak. Menyenangkan.
Berbeda dengan saat ini. Anak-anak dijejali mata pelajaran yang kadang guru pun belum menguasai. Miris.
Saya sebagai orang tua hanya dapat menilai sebetulnya pemerintah, dalam hal ini ini Diknas belum siap dengan kurikulum 2013. Terbukti sampai bulan Agustus 2014 buku paket belum dibagikan di sekolah. Hingga Si Sulung harus membeli lagi. Lain halnya Si Bungsu yang duduk di kelas 2 SD, buku pelajaran saat itu belum ada di toko buku. Akhirnya kami harus print out materi dari internet. Alhamdulillah, komputer kami dilengkapi jaringan internet dan printer. Bagaimana dengan mereka yang orang tuanya masih gaptek atau yang tinggal di pelosok? Mereka jauh dari akses internet, karena taraf kehidupan mereka pun rendah (maaf, miskin).
Anak-anakku, sabar ya...
"Koq angel men to Yah..."
Pelajaran kimia sudah diberikan untuk kelas VII. Dulu diberikan saat saya duduk di bangku kelas 1 SMA.
Herannya nilai UTS-nya bagus semua. Anak-anak kami tidak ada yang les. untuk matematika dan IPA, ayahnya yang membimbing. Untuk pelajaran bahasa Indonesia, IPS dan agama bagian Bunda.
Jangankan untuk pelajaran tingkat SMP, untuk anak SD pun termasuk berat. Kalau orang tua tidak turut mendampingi anak belajar, saya tidak tahu jadinya seperti apa.
Jauh berbeda dengan kurikulum zaman saya SD, tahun 1980-1986, kurikulum disesuaikan dengan penalaran anak dan usia. Tidak heran, saya dan banyak teman-teman seusia bisa belajar sendiri dengan hasil yang baik. Waktu untuk bermain pun masih banyak.
Lain lagi pengalaman dari Utami Panca Dewi, penulis dan seorang guru SMP. Berikut ulasannya ketika saya membahasnya di status FB, Senin malam, 20 Oktober 2014.
"Aku mengajar kelas 7 Mbak, dan waktu mengajarkan kimia (asam, basa, garam), anak-anak tak ajak bermain-main dengan bahan-bahan yang ada di dapur Mama. Justru mereka sangat antusias, baik yang percobaan dengan lakmus maupun yang dengan indikator buatan sendiri, Intinya dari K-13 itu sebetulnya biar anak menemukan konsep sendiri kok Mbak. Jadi guru hanya menggiring siswa untuk mengamati lingkungan, menemukan permasalahan, mengumpulkan data untuk memecahkan permasalahan, mengolah data, menyimpulkan sendiri, dan mengomunikasikan dengan teman satu kelas dalam suatu diskusi. Tugas guru hanya menguatkan kesimpulan mereka. Namun tugas guru saat penilaian juga berat, karena setiap anak tidak hanya dinilai kognitifnya, tapi juga attitud (sikap) dan psikomotornya (ketrampilannya)."
Mbak Ade Mumun Maemunah yang akrab disapa Adhe Mae, menimpali Mbak Utami,
"Semua kembali pada cara guru menyampaikannya, kalo seperti yang dilakukan mba Utami Panca Dewi, saya rasa tidak akan membebani anak2, seperti saya di PAUD pelajaran kimia/sains dikemas dalam permainan dan tidak perlu dijelaskan secara detil, dengan bahasa dan kemampuan bahasa anak2 saja, disesuaikan dengan usia anak."
Sementara penulis senior Nurhayati Pujiastuti yang rajin membimbing kedua anaknya belajar, belum merasakannya. Putra sulungnya sejauh ini belum mengeluh soal pelajaran itu. Menurut Nur, mungkin faktor guru yang menyampaikannya.
Yang membuat berat, guru yang mengajar belum siap semua. Alhamdulillah, suami dulu selalu juara kelas sejak SD hingga kuliah. Untuk matematika dan statistika menjadi andalan di kantornya. Juga pernah mengajar matematika. Jadi anak-anak dibimbing ayahnya. Intan, putri sulung saya pernah mengatakan, 'Bunda dan Ayah lebih pintar dari gurunya'. He he...
Saya sering diskusi dengan guru Reza waktu kelas satu, tahun ajaran yang lalu. Guru-guru hanya mengikuti sistem yang berlaku. Entahlah, pemerintahan yang baru sudah terbentuk. Apakah sistem pendidikan dan kurikulum akan berubah lagi? Menurut Aliyah Naura, dari wacana hasil rapat, kurikulum 2013 akan segera digantikan dengan kurikulum 2014.
Malah diskusi kami semalam semakin hangat. Kami beernostalgia bagaimana asyiknya kurikulum ketika kami SD dan SMP dulu. Buku-buku pelajaran masih bisa dipakai adik-adik, bahkan famili yang lain. Waktu bermain setelah pulang sekolah dan sore hari pun masih banyak. Menyenangkan.
Berbeda dengan saat ini. Anak-anak dijejali mata pelajaran yang kadang guru pun belum menguasai. Miris.
Saya sebagai orang tua hanya dapat menilai sebetulnya pemerintah, dalam hal ini ini Diknas belum siap dengan kurikulum 2013. Terbukti sampai bulan Agustus 2014 buku paket belum dibagikan di sekolah. Hingga Si Sulung harus membeli lagi. Lain halnya Si Bungsu yang duduk di kelas 2 SD, buku pelajaran saat itu belum ada di toko buku. Akhirnya kami harus print out materi dari internet. Alhamdulillah, komputer kami dilengkapi jaringan internet dan printer. Bagaimana dengan mereka yang orang tuanya masih gaptek atau yang tinggal di pelosok? Mereka jauh dari akses internet, karena taraf kehidupan mereka pun rendah (maaf, miskin).
Anak-anakku, sabar ya...