Kamis, 28 Mei 2015

Dengan Bersyukur, Nikmat Allah SWT Tak Terukur

Kemarin siaturrahiim dengan beberapa sahabat. Saya selalu menjalin silaturrahiim dengan mereka yang terputus. Seandainya ada kesalah pahaman bisa diluruskan dengan bertabayyun.
Dari percakapan itu, saya merasa harus semakin pandai bersyukur. Ternyata selama ini dari kita banyak sawang-sinawang. Melihat rumput tetangga lebih hijau dari tanaman di rumah sendiri. Tetangga pun melihat hal yang sama dengan kita.
Apapun bila tak disyukuri, manusia selalu saja merasa kurang. Sudah mendapatkan satu ingin mendapatkan yang lain. Tak pernah merasa puas.
Lautan hikmah kehidupan begitu dalam dapat diselami. Kita bisa belajar dari siapa saja, bahkan dari seorang anak kecil. Semua berpasangan dan berputar. Tak ada yang abadi. Ada pasang dan surut, hitam dan putih, suka dan duka, bangkit dan jatuh.
Banyak manusia membangun mimpi dan berhasil mewujudkannya. Namun semua itu tak akan terjadi bila tak ada campur tangan Sang Pemilik Kehidupan. Semua atas izin Allah SWT.
Manusia seringkali tak sabar menjalani tahapan kehidupannya. Dicoba dengan ujian, langsung terpuruk. Padahal bila ia sabar dan mencoba bangkit, Allah akan mengangkat derajatnya ke tingkat yang lebih tinggi.
Diingatkan tausyiah seorang Ustadz beberapa waktu lalu.
"Hidup itu ada di antara waktu sholat ke waktu sholat lainnya. Bekerja itu pengisi waktu di antara waktu sholat."
"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia, hanya semata untuk beribadah kepadaKu," firman Allah dalam Al-Qur'an.
Dunia bagi orang beriman seperti menggenggam bara api. Mengejarnya seperti meminum air laut. Bertambah haus bila meneguknya.
Bersyukur ... bersyukur dan bersyukur. Maka Allah akan mencukupkan nikmat-Nya dan akan ditambah-Nya.

Senin, 18 Mei 2015

Bersyukur Dari Hal Yang Kecil

Ini cerita hari Sabtu lalu. Mumpung suami dan anak-anak libur. Kami jalan-jalan ke Madiun. Menyenangkan anak-anak yang bosan liburan di rumah terus. Tujuan kami ke mall yang memang ada permainan anak sekaligus toko buku.
Tujuan Bunda apalagi kalau bukan Gramedia. Masih di gedung yang sama. Bunda dan Kakak melangkah ke rak buku yang berbeda. Mengamati judul-judul buku yang masih diminati saat ini. Sementara Ayah dan Reza di stand compact disk.
Bosan lihat-lihat buku, kami beranjak ke luar. Hemmm ... sama-sama perempuan, mata ini tertambat pada aksesories. Bunda melihat tas dan dompet, sementara Intan asyik memilih jam tangan. Lumayan harganya sedang diskon.
Bunda membeli tas? Oh ... enggak, Bunda cuma senang lihat-lihat saja. Karena di rumah pun Bunda jualan tas dan dompet.
"Nda, bagus mana yang pink atau yang putih?" Intan meminta persetujuan Bunda untuk ikut memilih.
"Bunda suka yang putih," tukas Bunda.
"Aku juga suka yang putih, tapi kegedean."
"Mbak, jam tangan ini bisa dikecilkan?" tanya Bunda dijawab anggukan penjaga stand.
Sambil mengamati wanita muda ini bekerja, saya bertanya, "Tutupnya jam berapa, Mbak?"
"Jam sembilan, Bu," jawabnya.
"Sampean kerja dari jam berapa?" tanya Bunda lagi.
"Dari jam sepuluh pagi, Bu," jawabnya lagi.
"Enggak ada libur?"
"Liburnya sebulan dua kali, Bu," jawabnya lagi seraya menyerahkan jam tangan pada Intan.
Intan langsung mengenakan jam tangan yang sudah dikecilkan itu seraya menyodorkan selembar lima puluh ribuan.
Hemmm ... walaupun pekerjaan mompreneur nyaris tak ada libur, hati ini masih tersirat rasa syukur. Karena masih bisa mengatur sendiri libur dan selalu bertemu suami dan anak-anak.

Rabu, 13 Mei 2015

Untuk Pahlawan Devisa

Sudah beberapa bulan ini saya dan beberapa orang sahabat penulis berbagi ilmu kepenulisan pada para pahlawan devisa. Walaupun kemampuan saya masih seadanya, bukan berarti saya mengendapkan ilmu yang saya tahu. Saya ingin ilmu yang saya peroleh dapat mengalirkan manfaat sepanjang hidup saya.



Mungkin untuk mereka yang sudah mahir, apa yang saya ketahui hanya seujung kuku. Tapi ketika ilmu itu sampai pada orang yang belum tahu.., Masya Allah, sangat terasa ingin selalu menambah ilmu dan membagikannya kembali.

Mungkin saat ini secara finansial dari hasil menulis belum terlihat. Tapi amal yang terus mengalir adalah warisan tak ternilai untuk anak-anak saya.
Ya... amal berupa ilmu bermanfaat. Bukan warisan berupa harta yang saya tinggalkan untuk anak-anak saya kelak.

Sering saya sharing bersama penulis senior yang ikhlas berbagi. Dari mereka saya berguru untuk terus berbagi ilmu.

"Saya akan memudahkan orang yang ingin menjadi penulis," kata seorang penulis senior pada suatu work shop yang saya ikuti.

 "Kalau Teh Devy ikhlas berbagi, Insya Allah suatu saat ada kemudahan yang didapat," kata penulis senior lainnya.

"Mbak Devy masih menulis?" Sapaan hangat yang masuk di telepon genggam atau inbox dari penulis yang sekaligus guru menulis fiksi, memacu semangat. 

Rezeki dari menulis untuk saya bukan hanya apa yang masuk pundi-pundi. Tapi bagaimana menjadikan banyak orang yang bercita-cita menjadi penulis, menjadi penulis betulan. Memberikan pencerahan kalau menulis itu bisa menghasilkan bukan sekadar hobi.

Impian yang lain, saya ingin para Pahlawan Devisa itu kembali ke tanah air. Dekat dengan keluarga, agar mereka bisa selalu memeluk buah hati mereka.

Dan.., saya tetap belajar dan berjuang untuk mewujudkannya.

Minggu, 10 Mei 2015

Untuk Pahlawan Devisa

Sudah beberapa bulan ini saya dan beberapa orang sahabat penulis berbagi ilmu kepenulisan pada para pahlawan devisa. Walaupun kemampuan saya masih seadanya, bukan berarti saya mengendapkan ilmu yang saya tahu. Saya ingin ilmu yang saya peroleh dapat mengalirkan manfaat sepanjang hidup saya.

Mungkin untuk mereka yang sudah mahir, apa yang saya ketahui hanya seujung kuku. Tapi ketika ilmu itu sampai pada orang yang belum tahu.., Masya Allah, sangat terasa ingin selalu menambah ilmu dan membagikannya kembali.

Mungkin saat ini secara finansial dari hasil menulis belum terlihat. Tapi amal yang terus mengalir adalah warisan tak ternilai untuk anak-anak saya.

Ya... amal berupa ilmu bermanfaat. Bukan warisan berupa harta yang saya tinggalkan untuk anak-anak saya kelak.

Sering saya sharing bersama penulis senior yang ikhlas berbagi. Dari mereka saya berguru untuk terus berbagi ilmu.

"Saya akan memudahkan orang yang ingin menjadi penulis," kata seorang penulis senior pada suatu work shop yang saya ikuti.

"Kalau Teh Devy ikhlas berbagi, Insya Allah suatu saat ada kemudahan yang didapat," kata penulis senior lainnya.

"Mbak Devy masih menulis?" Sapaan hangat yang masuk di telepon genggam atau inbox dari penulis yang sekaligus guru menulis fiksi, memacu semangat. 

Rezeki dari menulis untuk saya bukan hanya apa yang masuk pundi-pundi. Tapi bagaimana menjadikan banyak orang yang bercita-cita menjadi penulis, menjadi penulis betulan. Memberikan pencerahan kalau menulis itu bisa menghasilkan bukan sekadar hobi.

Impian yang lain, saya ingin para Pahlawan Devisa itu kembali ke tanah air. Dekat dengan keluarga, agar mereka bisa selalu memeluk buah hati mereka.

Dan.., saya tetap belajar dan berjuang untuk mewujudkannya.