Kamis, 29 September 2016

Ceria Di Akhir September Ceria




Ternyata, suamiku lebih suka aku jadi penulis. Ini sering dikatakan saat ngobrol berdua atau akan berangkat ke kantor.
"Neng, kamu mending nulis aja.
""Tapi, Mas, kalau saya ninggalin bisnis atau jualan, gak bisa. Itu passion saya. Saya suka dua-duanya. Gak bisa ninggalin salah satunya. Kalau gak bisnis, saya bisa mati gaya," aku merajuk.
Kalimat tidak efektif abaikan. Lagi belajar nulis baper. Hi hi ... baper tapi aku gak ngarang, loooh)
Ssst ... jangan sampai mati gaya, ah. Kudu tetep semangat. Hi hi ...
“Kamu boleh tetep bisnis dan jualan, tapi jangan ngoyo!" tambahnya lagi.
Istri mah, kudu nurut apa kata suami. Selama perintahnya enggak bermaksiat (melanggar perintah Allah). Supaya aktifitas yang dilakukan berkah dan manfaat. Da, cari nafkah mah, selama suami bertanggung jawab, itu kewajiban suami. Semampu suami.
Yang enak, kalau isteri berpenghasilan. Semua hak isteri. He he ... enak, ya, jadi isteri. Tapi akan lebih baik kalau isteri pun membantu dengan ikhlas.
Untuk seorang isteri punya penghasilan sendiri tu berjuta rasanya. He he .., kaya jatuh cinta kali, ya ...
Walau sedikit dan dikerjakan dari rumah. Rasanya sesuatu ...
Sesuatuuu ...
Termasuk sesuatu juga kalau bisnisnya sedang sepi dan tidak ada pemasukkan sama sekali. Harus sabar dan ikhlas. Hiks.
Bisnis itu memang penuh resiko. Resiko gagal , sukses, terkenal, jatuh, bangun, resiko ditelikung mitra bisnis, resiko dicuekin dan dijauhi, juga resiko enggak punya uang. Lho ... lho ... lho ... bisnis koq, enggak punya uang? Bagaimana kumaha?
Enggak bagaimana dan kumaha. Semua bisa terjadi dalam bisnis.
"Apa pun yang terjadi, punya atau enggak punya uang. Bisnis sepi atau rame, jangan pernah berhenti bersyukur ," lanjut suamiku lagi
"Dan tetap harus ceria," mbantinku.
"Kamu kan, bisa tetap nulis," pungkasnya.
Kalau gitu ... kita kembali ke laptop. Eh ... saya sih, kembali ke HP. Saya biasa nulis dari HP. Sambil gogoleran. Asyiiik ...