Kamis, 15 Oktober 2015

Kekuatan Hijrah (The Power of Hijrah)


Pesan suami saat saya mengantarnya dan Si Bungsu ke depan rumah. Mereka akan beraktifitas pagi ini. Yang satu mencari nafkah di kantor, yang satu menimba ilmu di sekolah.
 
"Cari uang enggak masalah, tapi jangan sampai cara cari uang yang jadi bikin masalah."
 
Hi hi hi ... dalam sekali kata-katamu, Mas, kataku dalam hati. Kemudian saya memujinya yang terlihat gagah bila mengenakan pakaian batik atau pakaian dinas. Hemmm ... siapa lagi yang mau memuji kalau bukan istrinya, kan?
 
"Mas, koq, gagah dan ganteng, ya, kalau pakai batik?" seringkali saya menyatakan itu, dan saya ungkapkan dengan tulus.
 
"Gini, lho, Neng. Saya ini sebenarnya dari dulu ..," katanya menggantung sambil senyum-senyum.
 
"Ganteng ..?" sambarku.
 
"Bukan saya, lho, yang ngomong. Sudah, ya, Neng, saya berangkat dulu," pamitnya.
 
"Nda, berangkat, ya. Assalamu 'alaikum," pamit Si Bungsu. Nda kependekkan dari Bunda, panggilan sayang dari anak-anak.
 
"Wa 'alaikum salam wa rahmatullah,” saya menjawab sambil melambaikan tangan.
 
Memaknai Hakikat Hijrah
 
Kembali masuk rumah dan menutup pintu setelah mereka hilang dari tatapan. Merenungkan kembali nasihat-nasihat suami akan arti bersyukur, kesederhanaan serta hakikat kehidupan sebenarnya.
 
"Neng, kalau kita enggak pandai bersyukur, ingat adzab Allah sangat pedih," katanya sambil menyitir satu ayat berikut artinya.
 
Tentu saja saya paham dan hafal ayat dan maknanya. Tapi hafal dan paham saja akan percuma bila tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar banyak dari suami tentang banyak hal. Mudah diucapkan dan dituliskan, tapi sulit diterapkan bila hati tidak ikhlas dan terlalu cinta dunia.
 
Menginjak hari kedua bulan Muharam peninggalan tahun baru Hijriyah ini, masih banyak yang perlu dibenahi. Hijrah yang harus lebih luas saya artikan. Hijrah bukan hanya sekadar dimaknai pindah. Hijrah berarti hidup harus semakin dewasa, harus semakin bersyukur, bersabar dan semakin menebarkan kasih sayang. Hijrah yang berarti diri ini harus lebih banyak menebarkan manfaat dan kebaikan.
 
Tidak ada hijrah untuk keadaan yang lebih buruk. Tidak lebih malas, tidak lebih banyak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Tidak juga lebih boros membelanjakan sesuatu untuk hal-hal yang tidak berguna.
 
(Ya Allah ... air mata tak kuasa saya bendung saat menuliskan semua ini).
 
Begitu luas kasih sayang-Mu ya Rabb untuk kehidupan kami. Sehatnya diri dan keluarga merupakan rezeki dan nikmat yang sangaaat ... besar. Oksigen yang dengan bebas kami hirup, sementara saudara-saudara kami di Sumatera dan Kalimantan mendapatkannya dengan begitu mahal. Langit biru cerah kami nikmati setiap hari. Sementara makhluk serakah membuat langit hitam penuh asap demi keuntungan pribadi. Sudahkah diri ini hijrah dari suka mengeluh menjadi lebih banyak bersyukur? Sudahkah diri ini pindah dan ber-hijrah dari sikap pendendam menjadi sikap yang pemaaf? Hanya bisa bermuhasabah, sejauh manakah diri ini hijrah.
 
Semoga kita bisa memaknai hijrah dengan arti yang sebenarnya.
 
Kota Angin, 2 Muharam 1437 Hijriyah (15 Oktober 2015).
 
Foto dari grup whatsapp
 

Selasa, 13 Oktober 2015

Melesatkan Kekayaan Lokal.


Pernah merasa buntu ide ketika ingin memulai bisnis? Sebagian besar pasti menjawab pernah. Hal itu mungkin terjadi karena membandingkan bisnis kita dengan bisnis orang lain. Melihat bisnis orang lain berkembang pesat, kenapa bisnis saya koq, adem-ayem saja?

Passion setiap orang tidak sama. Bisnis yang sukses dijalankan seseorang belum tentu cocok untuk kita. Sudah melirik kekuatan lokal?
Apa sih, kekuatan lokal. Saya ingin membahasnya dari dua sisi. Lokal dalam arti melihat kekuatan diri sendiri. Ya, passion, seperti sudah saya tuliskan di atas. Kekuatan lokal dari sisi lain, melihat potensi daerah di mana kita tinggal.

Passion. Banyak yang belum bahkan mengenali passion dirinya. Padahal passion bisa dikembangkan dimulai dari apa yang diminati (hobi). Walaupun belum tentu hobi akan menjadi passion.
Saya merasa, passion saya menulis dan berbisnis. Saya menyukai dua aktifitas ini sejak SD. Tidak ada keturunan dalam keluarga yang menekuni kedua bidang ini. Sederhananya, kalau aktifitas ini saya tinggalkan, saya bisa mati gaya.

Sejak SMP kelas satu saya bisa punya uang jajan sendiri dari aktifitas menulis. Honor sekali pemuatan puisi saat itu (tahun 1986) di majalah Sahabat Pena sebesar Rp10.000,00. Sementara uang saku bulanan hanya Rp15.000,00 untuk satu bulan. Itu sudah termasuk untuk ongkos angkutan kota. Terpaksa harus ngirit kalau ingin jajan di atas Rp500,00. Itu di luar kalau orang tua mentraktir jajan atau makan di luar.

Sampai sebelum menikah, jualan saya Alhamdulillah lancar. Saya bikin apa pun pasti laku dan ada yang pesan. Tas rajut, kue kering, black forest dll.
Setelah menikah, tak pernah menyangka akan tinggal di kota kecil. Tak ada kenalan dan saudara. Bisnis saya dimulai lagi dari nol. Pernah jualan kain dan baju yang didatangkan dari Bandung. Saat itu penjualan lancar, meskipun dengan sistem bayar tempo. Tapi akhirnya berhenti, karena Mama yang biasa mengirimkan barang, pensiun dari PNS dan megasuh cucu (keponakan).

Saat itu belum musim online shop (2003). Saya menyambi bisnis direct selling yang penjualan saat itu lumayan. Putri sulung pun saya bawa ke mana-mana saat presentasi bisnis karena tak ada yang mengasuh. Sempat berhenti karena hamil anak kedua tahun 2005.
Ingin mulai lagi bisnis fashion seperti tahun 2003, tapi dalam perhitungan bisnis saya, akan membutuhkan modal yang besar bila saya sebagai produsen. Akhirnya saya melirik potensi lokal yang dua tahun lalu belum begitu dilihat.

Ya, jualan sambal pecel secara online. Kenapa saya memilih online? Karena di tempat saya tinggal sudah banyak yang jual sambal pecel. Di sini saya mulai mengembangkan kekuatan lokal walaupun kemudian saya terus berinovasi.
Dengan serangkaian riset (penelitian) dan trial and error (uji coba), saya menjalani bisnis sebagai produsen Sambal Pecel "Mbak Vy". Dari awalnya hanya satu varian rasa, hingga kini punya tiga varian rasa.

Sambal Pecel "Mbak Vy"


Testimoni konsumen sebagai media promosi yang murah

Orang akan lebih percaya pernyataan konsumen daripada penyataan produsen. Kumpulan testimoni dari sahabat, merupakan promosi yang ampuh untuk saya. Tiba-tiba ada yang inbox melalui FB, whatsapp untuk memesan. Alhamdulillah.

Testimoni konesumen


Testimoni di atas hanya satu dari sekian banyak testimoni yang masuk

Kini saya memutar otak lagi melihat potensi lokal lain. Tidak jauh-jauh, ada di kebun sendiri. Melihat sebelas tandan pisang menanti suluh (matang pohon), klaras (daun pisang kering), pelepah pisang yang siap teronggok. 

Melihat ini, saya tak mugkin bekerja sendiri. Saya membutuhkan jiwa-jiwa kreatif untuk membantu mengolah semuanya. Menciptakan lapangan kerja baru untuk lingkungan sekitar. Mengolah limbah alam menjadi sesuatu yang bernillai ekonomi. Dimulai dari rumah.

‪#‎SambalPecelMbakVy‬ ‪#‎CreativeMompreneurAndWriterpreneur‬ ‪#‎GriyaKreatifDevita‬ ‪#‎RumahKreatifDevita‬