Jumat, 20 Mei 2016

Masih Banyak Yang Perlu Dibenahi

Kurikulum pendidikan dasar yang berat hingga membebani anak-anak yang notabene usia bermain. Belum lagi kasus YY yang membuat orang tua khususnya ibu-ibu geram. Beban orang tua pun semakin berat. Harus ikut belajar bila tidak mau anak-anaknya tertinggal dengan teman-temannya.

Rasanya masih lebih bagus kurikulum zaman kami dulu, pendidikan dasar 6 tahun (di tahun 1980-1986). Pelajaran diberikan sesuai dengan daya tangkap seusia kami. Tanpa dibimbing kembali oleh orang tua pun, kami masih bisa mengerjakan PR sendiri. Tidak seperti anak-anak kami saat ini. Buku-buku pelajaran pun masih bisa kami turunkan (lungsurkan) pada adik-adik kelas. Lebih hemat.

Usia PAUD dan TK tidak boleh diajarkan baca-tulis-hitung (calistung) pun masih banyak dilanggar. Karena masih banyak sekolah yang memberlakukan masuk SD harus sudah bisa calistung.
Ketatnya keharusan unggul di bidang akademik, hingga mengesampingkan pendidikkan budi pekerti. Sopan santun pada guru dan orang tua sudah mulai terkikis. Pendidikkan akhlaq dan takut bila melanggar peraturan pun nyaris tidak ada lagi.

Pergaulan yang bebas saat ini membuat banyak ibu mengurut dada. Itulah salah satu sebab saya ingin menjadi ibu rumah tangga. Meninggalkan karier (kerja kantoran) yang saya bangun sebelum menikah. Tidak ada yang menjamin kelangsungan pendidikkan dan moral anak-anak bila tidak ada orang tua di dalam rumah. Apa lagi tidak ada anggota keluarga yang menemani anak-anak kami bila saya pun ikut-ikutan berkarier di luar rumah.

Menyerahkan pendidikan dan pengasuhan anak pada pembantu? Bagi saya itu bukan pilihan yang bijaksana. Saya tidak ingin anak-anak lebih dekat dengan pembantu daripada dengan saya, ibunya.

Lelah? Pasti. Tapi masa-masa lelah itu akan sedikit berkurang saat anak-anak bersekolah, dan terobati bila anak-anak berakhlaq mulia. Santun pada yang lebih tua dan sayang pada yang lebih muda. Juga bisa berprestasi di sekolah dan masyarakat. Prestasi itu bukan tuntutan, tapi buah dari hasil belajar di rumah dan di sekolah. Anak-anak kami tidak ada yang les atau privat pada guru. Saya dan suami yang membimbingnya di rumah. Pelajaran agama Islam, bahasa Indonesia dan ilmu sosial bersama saya, dan pelajaran bahasa Inggris, matematika serta eksata bersama suami.

Saya begitu salut pada ibu-ibu yang dapat berperan ganda (single parent): sebagai ibu dan ayah sekaligus. Tidak mudah menjalankan itu semua. Tapi kembali ke rumah bagi seorang ibu untuk saat ini seakan menjadi tuntutan. Apalagi di era digital dan serba online seperti saat ini, semua bisa dilakukan dari rumah. Tanpa harus kehilangan banyak waktu bersama buah hati tercinta.

Tentu saja ada beberapa pekerjaan yang tetap menuntut ibu rumah tangga berkiprah di luar rumah. Guru, dokter, perawat, bidan dan tenaga medis lainnya. Semoga Allah ta'ala memudahkan langkah dan selalu melindungi kalian.

Devy Nadya Aulina
(Mompreneur and Writerpreneur).
Kota Angin, 20 Mei 2016.


5 komentar: