Pesan suami saat saya mengantarnya dan Si Bungsu ke depan rumah. Mereka akan beraktifitas pagi ini. Yang satu mencari nafkah di kantor, yang satu menimba ilmu di sekolah.
"Cari uang enggak masalah, tapi jangan sampai cara cari uang yang jadi bikin masalah."
Hi hi hi ... dalam sekali kata-katamu, Mas, kataku dalam hati. Kemudian saya memujinya yang terlihat gagah bila mengenakan pakaian batik atau pakaian dinas. Hemmm ... siapa lagi yang mau memuji kalau bukan istrinya, kan?
"Mas, koq, gagah dan ganteng, ya, kalau pakai batik?" seringkali saya menyatakan itu, dan saya ungkapkan dengan tulus.
"Gini, lho, Neng. Saya ini sebenarnya dari dulu ..," katanya menggantung sambil senyum-senyum.
"Ganteng ..?" sambarku.
"Bukan saya, lho, yang ngomong. Sudah, ya, Neng, saya berangkat dulu," pamitnya.
"Nda, berangkat, ya. Assalamu 'alaikum," pamit Si Bungsu. Nda kependekkan dari Bunda, panggilan sayang dari anak-anak.
"Wa 'alaikum salam wa rahmatullah,” saya menjawab sambil melambaikan tangan.
Memaknai Hakikat Hijrah
Kembali masuk rumah dan menutup pintu setelah mereka hilang dari tatapan. Merenungkan kembali nasihat-nasihat suami akan arti bersyukur, kesederhanaan serta hakikat kehidupan sebenarnya.
"Neng, kalau kita enggak pandai bersyukur, ingat adzab Allah sangat pedih," katanya sambil menyitir satu ayat berikut artinya.
Tentu saja saya paham dan hafal ayat dan maknanya. Tapi hafal dan paham saja akan percuma bila tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar banyak dari suami tentang banyak hal. Mudah diucapkan dan dituliskan, tapi sulit diterapkan bila hati tidak ikhlas dan terlalu cinta dunia.
Menginjak hari kedua bulan Muharam peninggalan tahun baru Hijriyah ini, masih banyak yang perlu dibenahi. Hijrah yang harus lebih luas saya artikan. Hijrah bukan hanya sekadar dimaknai pindah. Hijrah berarti hidup harus semakin dewasa, harus semakin bersyukur, bersabar dan semakin menebarkan kasih sayang. Hijrah yang berarti diri ini harus lebih banyak menebarkan manfaat dan kebaikan.
Tidak ada hijrah untuk keadaan yang lebih buruk. Tidak lebih malas, tidak lebih banyak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Tidak juga lebih boros membelanjakan sesuatu untuk hal-hal yang tidak berguna.
(Ya Allah ... air mata tak kuasa saya bendung saat menuliskan semua ini).
Begitu luas kasih sayang-Mu ya Rabb untuk kehidupan kami. Sehatnya diri dan keluarga merupakan rezeki dan nikmat yang sangaaat ... besar. Oksigen yang dengan bebas kami hirup, sementara saudara-saudara kami di Sumatera dan Kalimantan mendapatkannya dengan begitu mahal. Langit biru cerah kami nikmati setiap hari. Sementara makhluk serakah membuat langit hitam penuh asap demi keuntungan pribadi. Sudahkah diri ini hijrah dari suka mengeluh menjadi lebih banyak bersyukur? Sudahkah diri ini pindah dan ber-hijrah dari sikap pendendam menjadi sikap yang pemaaf? Hanya bisa bermuhasabah, sejauh manakah diri ini hijrah.
Semoga kita bisa memaknai hijrah dengan arti yang sebenarnya.
Kota Angin, 2 Muharam 1437 Hijriyah (15 Oktober 2015).
![]() |
Foto dari grup whatsapp |