Kata Mama, sejak saya kecil suka sekali main guru-guruan. Dan saya masih ingat betul hingga kini.
Saat TK meniru ibu guru mengajari menyanyi. Saat SD meniru ibu guru menerangkan di depan kelas. Bergantian dengan teman sebaya menjadi guru dan murid. Dari situ kemampuan public speaking saya terasah.
Saat kelas 3 SD saya pertama kali menjadi MC. Langsung dipilih oleh Ibu guru. Setelah itu tampil di depan orang lain sudah biasa bagi saya. Menyanyi, membaca puisi, menjadi saritilawah, saya mulai sejak SD.
Mama yang menanamkan rasa percaya diri pada saya. Mama memasukkan saya pada kegiatan luar sekolah. Les renang di Centreum (Tirtamerta), klub sepatu roda "Blibiz" di jalan Surapati-Bandung, hingga les tari Bali di Gelanggang Generasi Muda (Gelanggang Remaja).
Di lingkungan rumah, akhirnya Mama mengajak anak-anak satu gang latihan sepatu roda. Akhirnya saya bisa kenal teman-teman satu RW waktu itu.
Setelah SMP, kegiatan-kegiatan itu menjadi ekstra kurikuler di sekolah. Saya mengikuti seni tari Sunda dan seni suara.
Masih saya ingat, Nenek almarhum paling suka melihat saya menari diiringi gending dari kaset Ibu Yeti Mamat.
****
Menginjak SMA, saya lebih sering lagi diminta Ibu guru menerangkan di depan kelas. Saya begitu lancar menerangkan pelajaran Bahasa Indonesia, sejarah dan agama.
Setelah kuliah kegiatan mengajar tak lepas dari keseharian saya. Membimbing anak tetangga yang bertanya tentang PR-nya. Juga mengajari mereka membaca Al-Qur'an.
Kini setelah menikah dan punya anak dua-yang satu sudah remaja-, masih banyak yang menyangka saya guru. Padahal lama sekali saya tidak mengajar secara langsung.
Saat berbelanja ke pasar, saat ada patroli pemeriksaan SIM dan STNK, hingga saat di kendaraan umum, orang sering bertanya.
"Baru pulang ngajar ya, Mbak?"
"Apa saya kelihatan seperti guru?" biasanya saya balik bertanya.
"Saya ibu rumah tangga, enggak mengajar."
"Mbak bohong. Ngajar di mana, Mbak?"
Nah ini yang bikin saya bingung. Pertanyaannya maksa banget.
"Saya guru untuk anak-anak saya."
"Enggak percaya, Mbak."
Yo wis nek gak percoyo.
****
Setahun lalu saya dipercaya menjadi penanggung jawab kelas-kelas online. Mendampingi mentor menjadi moderator. Hingga kini saya mulai mendapat undangan menjadi pengisi kelas bisnis dan menulis online.
Mungkin Mama dan Papa benar, saya berbakat mengajar.
Masih teringat saat usai sidang skripsi. Tak sadar di belakang begitu banyak teman-teman yang menyaksikan. Biasanya dosen penguji hanya tiga, saat itu saya diuji oleh lima orang dosen. Salah satunya dosen dari STIA LAN-RI Jakarta.
Begitu sidang selesai, saya menengok ke belakang. Saya melihat Papa. Saya tak tahan untuk tidak menangis di pelukan Papa. Menumpahkan rasa lega seolah beban terlepas.
"Kamu berbakat jadi dosen," kata Papa di balik kemudi, saat kami pulang.
****
Kejadian itu lima belas tahun lalu. Tanggal 21 September 1998. Hingga kini walaupun tidak ada gelar formal, berbagi ilmu tetap menjadi keseharian saya. Saya tidak ingin ilmu yang saya dapat mengendap. Saya bagikan lagi sebisa mungkin.
****
Dengan berbagi ilmu, otomatis kita pun belajar kembali. Mengingat dan mengulang.
Siap untuk menjadi pengisi materi seminar online nanti malam.
#BelajarItuAsyik #BelajarBikinAwetMuda #MenulisDariHPItuAsyik
Selamat mengajar mbak....sukses slalu... :)
BalasHapusTerima kasih, Mbak Dian. Sukses juga buat Mbak, ya.
Hapusmengajar, Inshaa Allah jadi amal jariah..keep up the great job mba..
BalasHapusAamiin, Mbak Dedew.
Hapusselamat teh Devy....saya jadi muridnya yaaa...proud with your spirit
BalasHapusKita sama-sama belajar, Mbak Sri.
HapusKuangeeen rek karo sampean.